FENOMENA SASTRA SUFISTIK DI ERA MODERN: Perbandingan Fenomena Sastra Sufistik di Indonesia dan mesir pada Dekade 1980-an hingga 1990-an

Helmi Syaifuddin, M. Fil I

Abstract


Dalam perspektif sosiologi sastra, peristiwa maraknya sastra sulfistik di Indonesia dan Mesir pada decade 1980-an hingga 1990-an dapat ditempatkan bukan semata-mata sebagai peristiwa sastra, melainkan dalam banyak hal sebagai peristiwa social, politik, dan kebudayaan. Dari peristiwa tersebut muncul pertanyaan, bagaimana memahami kehadiran maraknya sastra sufistik tersebut dalam formasi social, budaya, dan politik local dan kemudian dipahami secara universal. Dalam hal ini, ketika rezim di kedua negara berada pada posisi dominan dan hegemonic yang mengontrol seluruh dimensi kehidupan bermasyarakat dan bernegara, apakah mungkin jika gejala maraknya sastra sufistik dilihat sebagai “implikasi tak berduga” dari berbagai isu yang dimobilisasi oleh Negara dengan wacana pembangunan dan modernitas di kedua Negara? Jawaban atas pertanyaan tersebut melalui penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pertama, karya sastra sebagai “wadah” yang paling representative terhadap wacana-wacana pemikiran sufistik bukan saja sebagai praktik dan gerakan kesastraan, melainkan juga gerkana keagamaan, social, politik, dan kebudayaan. Oleh karena itu, setiap kehadiran sastra sufistik ia menjadi sesuatu yang relevan dan kontekstual dengan persoalan zamannya. Dengan ungkapan lain, situasi social, budaya, dan politik (situasi eksternal) terbukti merupakan factor penggiring fenomena maraknya sastra sufistik di Indonesia dan Mesir pada dekadae 1980-an hingga 1990-an. Kedua, medan tantangan sastra sufistik berubah mengikuti perubahan masyarakat, peradaban, dan kebudayaan, pada gilirannya membawa sastra sufistik untuk ditempatkan pada peroalan-persoalan tersebut. Ekspresi pengetahuan (pikiran) dan pengalaman (perasaan) para sastrawan Indonesia dan Mesir dalam karya-karya sastra sufistik mereka pada decade 1980-an hingga 1990-an juga mengikuti perkembangan masyarakatnya. Akan tetapi, ada satu hal yang tetap terpelihara dalam praktik sastra sufistik , yakni adanya tradisi yang ditansmisikan secara terus-menerus, khususnya transmisi masalah-masalah ketuhanan, prinsip Tauhid. Tradisi ini menjadi satu-satunya kekuatan yang mampu meawan perubahan dan tuntutan zaman oleh hilangya kepercayaan manusia terhadaps sesuat yang transedental dan suci. Ketiga, makna yang bisa kita pahami dari fenomena maraknya satra sufistik di Indonesia maupun Mesir dalam kaitannya dengan modernitas dan kompleksitas wacana di dalamnya pada decade 1980-an hingga 1990-an adalah bahwa latar social-politik hadirnya sastra sufistik tidak lain berupaya memberikan raksi, respons, dan perlawanan terhadap wacana modernism pada umunya, dan sekularisme atau sekularisasi pada khususnya. Demikianlah suatu penjelasan bagaimana sastra sufistik mengambil posisi dan berhadapan dengan kekuasaan pemerintah, disamping bagaimana sastra sufistik memberikan reaksinya terhadap kecenderungan masyarakat mdern. Ada kemungkinan sastra sufistik akan selalu mengalami kebangkitan sesuai dengan tuntutan zamannya. Tampaknya ada kemunkinan bahwa factor perkembangan intertekstualitas masyarakat akan menjadi salah satu factor pentng dari kebangkitan tersebut. Hal ini disebabkan bahwa sastra sufistik merupakan bagian inheren dari tuntutan terhadap katinggian atau kematangan intelektualitas itu sendiri.

Kata kunci: Sastra Sufistik. Indonesia, Mesir, Modernitas


Keywords


Sastra Sufistik; Indonesia; Mesir; Modernitas

Full Text:

PDF PS

Refbacks

  • There are currently no refbacks.


Gedung Rektorat Lt.III
Kantor Lemlitbang UIN Maliki Malang
Jl. Gajayana No 50
Telp. (0341) 551354, Fax. 572533.