SIKAP TERHADAP HUKUMAN PELAKU PEMERKOSA PADA KOMUNITAS MUSLIM: DITINJAU DARI NILAI MORAL RELIGIOUS DAN SIKAP PADA JENIS KELAMIN LAIN (SEXISM)

Fathul Lubabin Nuqul, M. Si, Elok Halimatus Sa’diyah, M. Si

Abstract


Kejahatan pemerkosa dan kejahatan seksual lainnya khususnya pada anak semakin meningkat. Data di Poda Jawa Timur periode Januari-September 2010 menunjukkan bahwa telah terjadi kejahatan terhadap anak sebanyak 258 kasus dalam berbagai jenis tindak kejahatan yang meliputi: persetubuhan sebanyak 141 kasus, pencabulan sebanyak 71 kasus, penganiayaan sebanyak 14 kasus, pemerkosaan sebanyak 12 kasus dan pelarian sebanyak 20 kasus (Jawa Pos, 2010)
Tindak pidana pemerkosa merupakan kejahatan yang unik. Alasannya, pertama dalam beberapa studi menunjukkan bahwa masyarakat menganggap pemerkosaaan dianggap sebagai kejahatan yang berbahaya karena dianggap berpotensi terjadi pengulangan. Masyarakat juga menganggap bahwa pelaku pemerkosaan merupakan individu yang mengalami gangguan jiwa (Karen, 2003). Dalam beberapa hasil studi yang sistematis dengan membandingkan antara pemerkosaan dan kejahatan lain seperti: narkoba, pencurian dan perampokan, ternyata pencurian perampokan dan narkoba lebih berpotensi mengalami pengulangan atau residivism disbanding dengan pemerkosaan (Sample & Bray, 2003). Selain itu pemerkosaan bisa bersaal dari kalangan apapun, artinya pelaku pemerkosaan bukan selalu orang yang mengalami gangguan mental (Wahid & Irfan, 2001).
Alasan yang kedua yaitu dalam penegakan hokum pemerkosaan di Indoneisa. Terdapat banyak hal yang menimbulkan “gugatan” tentang keadilan dalam kasus ini. 1). Dalam KUHP yang berlaku di Indonesia menunjukkan bahwa pelaku pemerkosaan selalu berjenis kelamin laki-laki dan korban selalu berjenis kelamin perempuan. 2). Hukuman untuk pelaku dianggap kurang memenuhi rasa keadilan. Misalnya pasal 285 dijelskan bahwa hukuman maksimal 12 tahun penjara, sedangkan untuk pada 287 dijelaskan tentang hukuman maksimal pada pemerkosaan dengan korban yang berusia di bawah 15 tahun (lih Moeljatno, 1996). Hal ini ternyata dianggap kurang memenuhi rasa keadilan karena korban anak-nak lebih rentan mengalami gangguan mental dari efek pemerkosaan disbanding dengan korban dewasa. Selain itu potensi untuk menjadi korban juga lebih tinggi pada anak-anak disbanding dengan orang dewasa.
Secara teori pelaku menentukan hukuman yang akan diterima. Dalam kitab undang-undang hokum Pidana (KUHP) Indonesia, Pasal 45 bahwa ada pengecualian hukuman pada anak-anak. Selain itu secara psikologis anak-anak dianggap belum mampu menetukan perilakunya sendiri terkait dengan keterbatasan mental mereka. Meskipun demikian tidak jarang anak-anak melakukan kejahatn yang dianggap serius, seperti pemerkosaan. Untuk itu tujuan dari penelitian ini untuk memetakan penilaian atau sikap masyarakat terhadap hukuman untuk pelaku pemerkosaan  baik yang dilakukan oleh orang dewasa maupun anak-anak.
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, deangan melibtkan 240 subyek yang berlatar belakang mahasiswa dari Fakultas Psikologi, Syariah, Sainstek, Tarbiyah dan Ekonomi. Komposisi dari jenis kelamin laki-laki berjumlah 86 dan perempuan 148, sedangkan 6 orang tidak melaporkan jenis kelaminnya. Usia subyek penelitian berkisar antara 18-24 tahun. Pengukuran untuk 1). Sikap terhadap hukuman pelaku pemerkosaan diukur menggunakan skala yang diadaptasi dari Punishment attitude scale dari McCorkle (1993) yang terdiri dari 8 item. Dari skala sikap terhadap hukuman terdiri dari dua bentuk, yaitu sikap positif pada hukuman dan sikap negative terhadap rehabilitasi; 2). Penilaian keseriusan kejahatan berjumlah 4 aitem, denagn tingkat reliabilitas sebesar 0,753; 3). Penilaian tanggung jawab pelaku kejahatan. Diukur dengan menggunakan Attributions of accountability scale dari Ghetti dan Redlich (2001); 4). Variabel ini diukur dengan skala Ambivalent Sexism Inventory dari Susan Fiske dan Peter Glick (1999), dengan reliabilitas alpha sebesar 0,624 untuk hostile sexism dan 0,866 untuk benevolent sexism; Nilai Moral Religius: yang ukur dengan Islamic Moral Value dari Sahin dan Francis (2002). Berjumlah 17 aitem dengan tingkat relibilitas alpha sebesar 0,878.
Hasilnya menunjukkan bahwa ada hubungan antara Nilai Moral Religius Islam dengan sikap Memberi Hukuman, baik pada kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh orang dewasa maupun pada anak-anak. Meskipun demikian Nilai Moral Religius Islam pada kasusu pemerkosaan yang dilakukan oleh orang dewasa lebih berkorelasi pada sikap member hukuman, sedangkan Nilai Moral Religius Islam pada kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh anak-anak berkorelasi pada sikap member rehabilitasi pada pelaku. Juga ada hubungan antara Sexism, baik Hostile Sexism maupun Benevolent Sexism, dengan sikap member hukuman, baik pada kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh orang dewasa maupun pada anak-anak. Hasil ini tampaknya masih belum menjawab pertanyaan mana yang lebih berpengaruh apakah Benevolen Sexism atau Hostile Sexism yang akan cenderung menghukum pelaku pemerkosaan. Selain itu juga penelitian ini juga menunjukkan bahwa ada perbedaan penilaian tanggung jawab pelaku (criminal responsibility) antara kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh orang dewasa dengan yang dilakukan oleh anak-anak. Pelaku orang dewasa dianggap lebih hrus bertanggung jawab disbanding dengan pelaku-pelaku  anak. Selain itu tidak ditemukan perbedaan penilaian keseriusan kejahatan antara pemerkosaan yang dilakukan oleh orang dewasa maupun yang dilakukan oleh anak-anak. Hal ini menunjukkan bahwa kedua kasus tersebut merupakan kejahatan yang kejam dan memprihatinkan.

Keywords: attitude, criminal justice system, religious, sexism


Keywords


attitude; criminal justice system; religious; sexism

Full Text:

PDF PS

Refbacks

  • There are currently no refbacks.


Gedung Rektorat Lt.III
Kantor Lemlitbang UIN Maliki Malang
Jl. Gajayana No 50
Telp. (0341) 551354, Fax. 572533.