PROBLEMATIKA IMPLEMENTASI HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DI INDONESIA
Abstract
The general principle of syariah states that legal majority comes with physical puberty. Hence in theory, capacity to conclude a marriage contract basically depends upon proof of sexual maturity established under the normal rules of evidence rather than the attainment of a specific age. In examining the statutory measures on child marriage, it appears that the Compilation follows two main objectives; restriction and indirect prohibition. Since Muhammad himself married Aisyah at an exceedingly tender age, so it is almost impossible for pious Muslims to condemn the practice. A punitive approach to child marriage would also seem unlikely to achieve a desirable result. The indirect means was therefore justified on the basis of the siyasah syar’iyah doctrine; instead of declaring the minor marriage void, the Compilation confined themselves to discouraging it by administrative expedients.
Prinsip umum dari Syariah menegaskan bahwa batas usia pernikahan disesuaikan dengan pubertas fisik. akan tetapi secara teoritis, kapasitas seseorang untuk menikah pada dasarnya disesuaikan dengan kematangan secara seksual dan bukan hanya dibatasi pada usia tertentu. Dalam pengaturan persoalan konteks perkawinan usia dini, KHI menekankan dua hal yaitu pembatasan dan pelarangan secara tidak langsung. Dikarenakan Muhammad menikahi Aisyah pada usia yang masih dini, maka hampir tidak mungkin bagi seorang Muslim untuk mengecam praktek perkawinan usia dini. Suatu pendekatan yang bersifat menghakimi terhadap persoalan tersebut nampaknya tidak akan mencapai hasil yang baik. Dengan demikian, alat yang secara tidak langsung bisa digunakan untuk melihat persoalan tersebut adalah dengan mengembalikan hukum pernikahan usia dini berdasarkan siyasah syar’iyah daripada hanya dengan memberikan batasan usia nikah.
Keywords: Hukum Islam, Pernikahan Dini, Qawaid Fiqhiyah
Prinsip umum dari Syariah menegaskan bahwa batas usia pernikahan disesuaikan dengan pubertas fisik. akan tetapi secara teoritis, kapasitas seseorang untuk menikah pada dasarnya disesuaikan dengan kematangan secara seksual dan bukan hanya dibatasi pada usia tertentu. Dalam pengaturan persoalan konteks perkawinan usia dini, KHI menekankan dua hal yaitu pembatasan dan pelarangan secara tidak langsung. Dikarenakan Muhammad menikahi Aisyah pada usia yang masih dini, maka hampir tidak mungkin bagi seorang Muslim untuk mengecam praktek perkawinan usia dini. Suatu pendekatan yang bersifat menghakimi terhadap persoalan tersebut nampaknya tidak akan mencapai hasil yang baik. Dengan demikian, alat yang secara tidak langsung bisa digunakan untuk melihat persoalan tersebut adalah dengan mengembalikan hukum pernikahan usia dini berdasarkan siyasah syar’iyah daripada hanya dengan memberikan batasan usia nikah.
Keywords: Hukum Islam, Pernikahan Dini, Qawaid Fiqhiyah
Keywords
Syari'ah; Hukum Islam; Pernikahan Dini; Qawaid Fiqhiyah
DOI: https://doi.org/10.18860/j-fsh.v1i1.320
Copyright (c) 2009 Ahmad Izzuddin
Published By:
Shariah Faculty Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim MalangGajayana Street 50 Malang, East Java, Indonesia
De Jure: Jurnal Hukum dan Syar'iah is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International