TAFSIR KESETARAAN DALAM AL-QUR’AN: Telaah Zaitunah Subhan atas Term Nafs Wahidah
Abd. Basid, Ruqayyah Miskiyah
Abstract
Diskusi tentang kesetaraan antara pria dan wanita dari zaman pra-Islam hingga Islam datang terus menjadi perbicangan serius. Dalam Islam, salah satu yang memantik diskusi tersebut adalah kajian atas kata nafs wahidah perihal asal usul penciptaan wanita, yang tersebut dalam QS. al-Nisa’ (4): 1, QS. al-Nisa’ (4): 41, QS. al-A’raf (7): 189, QS. al-Nahl (16): 72, QS. al-Rum (30): 21, QS. al-Zumar (39): 6, dan QS. al-Syura (42): 11. Beberapa ayat-ayat tentang nafs wahidah ini yang dalam pembahasan artikel ini disebut dengan “ayat-ayat kesetaraan” karena menjadi dalil kesetaraan gender antara pria dan wanita. Dari kata nafs wahidah, mufassir klasik cenderung memaknainya bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk pria yang pada akhirnya berimplikasi pada ketimpangan gender. Seiring berjalannya waktu, mufassir dan tokoh modern menggugat terhadap penafsiran mufassir klasik, termasuk di antaranya Zaitunah Subhan yang menjadi fokus penelitian ini. Akan hal itu, penelitian ini ingin menjawab sebuah pertanyaan; bagaimana penafsiran Zaitunah Subhan atas ayat-ayat kesetaraan dalam al-Qur’an?. sebagai langkah metodis, artikel ini menggunakan metode analisis diskriptif dengan bertumpu pada kajian pustaka (library reseach). Pada akhirnya, penelitian ini menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa Zaitunah Subhan memaknai kata nafs wahidah bukanlah Adam (pria) tapi lebih tepatnya adalah “diri yang satu” di mana Hawa (wanita) juga diciptakan darinya. Tidak ada perbedaan antara keduanya kecuali tingkat ketakwaan yang dimilikinya.
Editorial Office: Gedung Perpustakaan Lt.1 Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Jl. Gajayana No. 50 Malang. Telp. (0341) 551354, Fax. 572533 Email: egalita@uin-malang.ac.id